Minggu, 18 Januari 2009

motoromance sebuah cerpen

MOTOROMANCE

Pasha mengikuti hiruk pikuk bintang malam. Meski begitu, malam tetap sunyi dari manusia – tubuhnya lesu sejak tadi pagi tubuhnya hanya terlintas sebotol air mineral. Mulutnya kecut tidak datang juga inspirasi untuk lepas dari tanggung jawab. Dia bagai bintang jalang. Dia sedang keluar dari dilema panjang. Dia memutar pintu palang itu. Diterka sebuah lorong yang begitu sensitif, peka oleh bau manusia. Lengah sedikit saja akan terkunci rapat – rapat tanpa toleransi. Lorong itu menyimpan segala suka dan duka setiap insan dibumi ini” aku juga menyebutkan lorong itu sebuah hardish dinotebookku”, gumamnya, dia mengikuti segala perintah empunya namun ini beda lorong itu menguak siluet – siluet kedukaan bagi pasha

Malam ini sungguh penat, berpayah – payah merangsuk untuk keluar dari pusaran badai dilautan lepas, terlihat pula buih anyir berhias sampah disana – sini, airnya bergelombang naik – turun, sementara cakrawala semakin limbung dari tahtanya dan semakin merentak parabola, aku seperti pemain sirkus oleh sorotan lampu blit. Saraf otakku meleleh hingga sekejap cakrawala kembali merentang dan aku menghirup udara bebas.

Sejenak kemudian gumpalan awan tertulislah berlembar prosa pahit mengingatkan pada motor itu, telah kudapat sepasang teori tapi tak pernah akur, dimana kedinamisan ayah ternyata bersinggungan oleh ketaktisanku Akupun berseteru hingga dini hari.

Pagi ini menatap sangat nanar sebuah cahaya meliuk menerobos poripori yang terkontaminasi perasaan takut selembar kulitku menghadang jutaan bakteri sialan untuk menggerogoti gumpalan daging pada tubuhku. Meski sedikit pontang – panting. Kali ini kusebut prolog sialan untuk beberapa menit akan datang bersama itu kukenakan baju jankis dan pencil wear paling top abad ini” zaman sekarang mainya distro coy”, nggak up date kalo enggak begini tak lupa kusemir rambut yang lepek, berdandan seapik mungkin.

Diberanda rumah kulirik secangkir kopi menghangatkan berlembar koran yang memuat fenomena pagi ini, ayahku sangat antusias menelusuri pelosok desa maupun kota pada menit itu, sesekali beliau tersunging ketika sebuah judul berita terpampang begitu gagah.” Pelanggaran HAM berat, mencalonkan sebagai Presiden RI “, ah itu wajar belum seru” bunga 7 tahun digasak kakeknya”,ah, berita murahan.” Gebi mati karena cowoknya kecelakaan’, huh gosip jalanan. Mungkin ayahku berfikir selangkah lebih maju, yang lain makin ketinggalan (iklan donk) akupun menghampirinya penuh kalut. Beliau tak mengubrisku, namun aku berusaha sekuat tenaga. Jangan mendahului nasib. Kalimat itu kudapat dari resensi buku mas Andrea Hirata bukan impian ayah membuka suasana, “ Sya, kamu harus nurut sama ayah”. Aku terkesiap mendengarnya aku menjadi kosong bak animasi layaknya spongebob, tubuhku kosong ideku kembali bergoyang dan meledak. Ayah menghentaan amunisi yang melayang 90 derajat kemudian jatuh tepat diubun – ubunku .” Ayah nggak fair, ayah diktator!”, yah, Pasha ingin bebas menghirup asap sepeda motor, Pasha ingin menjadi anak motor kayak mas Dide. Disinilah perang Irak menggelora diberanda rumah atau lebih mudah disebut film hollywood berpenonton dua wanita ibu dan Nadin.

Ayah sangat geram. Giginya gemeletukan tanganya mencengkram benda Keras. Dan segala perhitungan normal, sulit meramalkan apa yang terjadi. Mungkin aku akan dilumat hingga kehabisan nafas atau aku akan mendapati surgawi yang selama ini kurindukan. Yang pasti tubuhku tersungkur disamping benda tadi, hati berkeping – keping seperti benda tadi.

“ Coba kau pikir anakku, anak motor sangat brutal, biadap, dan menghalalkan segala cara, komunis namanya, atau bisa kau fikir lazimnya kegiatan liberal, bahkan tak beristiadat apalagi agama,” jadilah penerus bangsa yang ketimuran, sopan, bayangkan beramai – ramai dijalanan umum dengan ugal – ugalan tak berhelm, tak punya SIM,bermotor oblong, tak layak dimuka umum”

“ Apakah kau akan seperti mereka, layaknya iblis yang menguasai jalan raya?”ayah mulai mentetorku dengan statemen paling keras. “ Sekarang, kau pilih anak motor atau sekolah?, dan ayah juga tak mengiginkan kau dekat – dekat dengan Nadin.

“ Yah, Pasha akan serius belajar, dan Pasha akan konsisten dengan ide hari ini, pelajar dan juga anak motor, dan sekali lagi yah Nadin adalah wanita pilihan Pasha, Pasha falling in love – berat sama Nadin”.

“ Oke itu pilihanmu anaku, jadi kau akan menjadi orang ugal – ugalan dan sama – sama kafir dengan Nadin?, ayah harap kau bukan antek Israel!’,

Ayah merendahkan nada dan drama pagi ini sekiranya akan bersambung siang nanti, embun pun mulai mengering dari dahan – dahan mungil.

Kusebut ini adalah siang paling berdebar. Dari kamar sebelah kudengar sayup percakapan ayah, ibu dan Nadin. Frekuensi pembicaraanya tak begitu ku dengar, namun kumerasa inilah titik dari perseteruanku dan ayah. Aku pun nimbrung diantara mereka ku nikmati senyuman Nadin disela – sela jeda. Bibirnya amat manis dan lentik.” Sya, ayah sudah mendengar tutur Nadin, dan ayah kalian, kau dan Nadin sudah bersahabat sejak sekolah dasar, jadi kau Pasha, jadilah apa yang membuatmu sukses. Ayah ikhlar kau menjadi anak motor dan bersahabatlah dengan Nadin”.

“ Aku bangga dengan kamu, Din kau diplomat yang hebat, kudoakan kau mendapat suami yang ganteng dikelak hari”. “ Ah….kak Pasha bisa saja, aku menjadi istrimu sudah cukup,ha….ha…….”.kamipun terbahak.

Kukira sesuatu yang berkecamuk telah menuai sembuah puncak yang sekiranya menjadi ujung sebuah konflik antara sebuah hati seorang anak dan idealis seorang ayah. Lecutan-lecutan argumentasi terus merangsang timbulnya pengakhiran diantara sebuah asa yang meraung-raung dan pemikiran begitu detil, pelan kemudian menciptakan keputusan akurat. Ayahku telah meninggalkan urat tegangnya, kini ceria menyelubung di indahnya siang kian berawan. Suryapun melambaikan sejengkal harapan kepadaku bahwa keceriaan yang telah bersemi satu jam lalu akan mengkristal seperti bakteri di tubuhku. Dan ceria itu merebah dalam setiap jejak langkahku. Kutengok wanita lentik itu menatap sangat nanar akupun merasa sebuah keganjilan meraja di bola matanya. Sesekali nadin tersenyum kecut ketika aku mengamati setiap inchi wajahnya, mata, hidung, alis dan kelembutan sebuat relirf paling rumit diantara berjuta wanita di bumi ini.

Nadin tampak angkuh kemudian meninggalkan sofa usang diruang tamu. Akupun mengikutinya penuh was-was sosok diplomat dan pemikir paling efektif, mulai meninggalkan karakternya, Nadin membuka sebuah siluet misteri ditengah keceriaan itu, ruang tamu pun berubah menjadi hamparan salju penuh balok-balok es. Aliran darahnya membeku seolah tak menghiraukan waktu yang terus berputar tanpa henti. Nadin menghempaskan segala teori tentang waktu yang mejadi bahan perdebatan sengit para ilmuwan kelas tinggi. Menurutnya waktu tak pernah ada. Bagiku itu hanya pemikiran konyol tak bernalar. Nadin sesampai aku memegang erat pergelangan tangannya pun tak terhentak sedikitpun. Wajahnya lurus pada satu titik saja. Mungkin sesuatu telah masuk dalam alam bawah sadarnya.

“ Kak, Nadin berharap ada satu kehidupan terbaik setelah ini.”

“Maksud kamu apa?” Pasya mengernyitkan dahi dan mengorek jawaban dari Nadin.

Nadin tersenyum lagi sambil menengadahkan tangan.

“Kak, lihatlah dedaunan di dahan itu, lihatlah hijau ranum penuh pesona nan semerbak.”

“Tapi……….” Nadin semakin ragu atas ucapannya. Suatu kalimat akan terlontar lagi namun Nadin sendiri sangat kalut oleh ucapannya. Ditariklah tangan Pasya olehnya. Dua sejoli itu meninggalkan ruang tamu. Mereka sampailah di garasi samping rumah. Di ruang itu tampak sesuatu yang gagah. Tubuhnya bersih sekali, pertanda sepeda motor itu di jaga baik-baik oleh empunya.

Nadin menatap Pasha. Dia memberi suatu pertanda untuk arjunanya kemudian mereka melaju begitu angkuh di jalanan. Nadin mengamati setiap jengkal bumi Indonesia. Berderet pepohonan hijau kian meneduhkan perjalanan mereka.

“Kak, lihatlah dedaunan itu, lihatlah hijau ranum penuh pesona nan semerbak, kak. Kita telah merdeka dari perseteruan dua hati. Nadin ingin bebas lagi, Nadin ingin menghirup udara dari segala penjuru bumi Indonesia ini.” Nadin berbisik kepada Pasha.

“Iya Din, kakak sungguh bersyukur ternyata ayahku orangnya baik banget. Ternyata ayahku bukanlah dictator ulung, ayahku bukan hitler, kakak juga berterimakasih kepada kamu Din,”

“Kak, kejar kupu-kupu itu, dia sangat cantik, ayo kak tambah kecepatan.” Nadin menunjuk seekor kupu-kupu cantik yang terbang di depan sepeda motor mereka.

Mereka melaju cukup kencang. Speedometer terus bertambah angka-angkanya.

“Braak………..” Dentuman keras melolong di seantero bumi Indonesia. Nadin terjerembab dalam kolong inova silver. Darah segar Nadin mengalir menganak sungai. Aku terpental keluar lajur jalan, kemudian kudekati Nadin, wanita teranggun itu terperosok dalam situasi paling abnormal. Kurengkuh tubuhnya yang lunglai karena perih luka di sekujur tubuh. Kudekatkan bibirku dengan wajah ranum itu. Jantungku berdetak-detak tak berirama dan hatiku melolong tanpa frekfensi yang jelas. Peluhku mengenai wajah Nadin. Bersama itu kukecup bibirnya. Kecupan terakhir untuknya. Setelah itu mata lentik Nadin menutup perlahan.

Kutengadahkan wajahku seolah tak percaya situasi ini akan melintas dalam mozaik kehidupanku. Sembari kuingat sebait tuturan Nadin.

“Kak, lihatlah dedaunan di dahan itu, lihatlah hijau ranum penuh pesona nan semerbak,” tapi……………..

Kemudian akupun mentelaahnya bahwa dedaunan itu akan terlindas siang dan malam, layu, mongering, sehingga pupus dan terjatuh dari singgasananya. Daun itu adalah Nadin.

Kini adalah pangkal lorong itu, barisan prosa mulai memudar terhempas angin dingin. Embun menitik – nitik di hamparan kertas yang meluruh. Akupun terbangun dari pucat pasi. Pucat itu semakin kalah oleh ufuk pagi. Aku terbangun dari lamunan panjang. Aku, ayah , ibu, motor dan Nadin semakin meruntun bersama lorong motoromance.




free-website-hit-counters.com
free hit counter code